Menarik juga ketika akhir-akhir ini muncul kembali wacana untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Electronic Information and Transactions Law (UU ITE) atau UU nomor 11 tahun 2008 yang mengatur tentang informasi, transaksi elektronik atau teknologi informasi secara umum. Apalagi yang mendorong agar UU ITE segera direvisi datang langsung dari pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi.
UU ITE pasal 27 ayat 3 ditentang keras keberadaannya oleh blogger Indonesia | Kris Mendrofa @ Pesta Blogger, photo koleksi pribadi |
Tentunya banyak pihak yang menyambut baik wacana ini, meskipun ada juga yang terkesan enggan untuk merevisinya dengan berbagai argumentasi tentunya. Saya sendiri termasuk yang menyambut baik wacana untuk merevisi UU ITE bahkan sudah menyuarakannya ketika UU ITE belum disahkan tahun 2008.
Sedikit flashback, 1 dekade lalu tepatnya tahun 2009 ketika acara kumpul-kumpul blogger salah satunya Pesta Blogger intens dilakukan, para blogger aktif di tanah air sudah menolak keras pasal karet dalam UU ITE salah satunya pasal 27 ayat 3. Saya juga pernah menulis artikel terkait penolakan ini dengan judul "Monster Itu: Pasal Pencemaran Nama Baik".
Seakan menemukan momennya, pada pertengahan tahun 2009 atau kurang lebih 1 tahun setelah UU ITE disahkan, muncul "korban UU ITE" yang ketika itu sangat menyedot perhatian publik yakni kasus Prita Mulyasari. Untuk kasus ini, saya juga pernah menulis artikel dengan judul "Prita Mulyasari Terjerat UU ITE, Kebebasan Berpendapat di Internet Terancam".
Sebagaimana diketahui, pasal 27 ayat 3 berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Mengutip Kompas, (Selasa, 16/02/2021) terdapat beberapa pasal yang cederung multitafsir, yakni:
- Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi yang tidak relevan. pasal ini bermasalah soal sensor informasi.
- Pasal 27 ayat 1 tentang asusila. Pasal ini bermasah karena dapat digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online.
- Pasal 27 ayat 3 tentang dafamasi, dianggap bisa digunakan untuk represi warga yang menkritik pemerintah, polisi, atau lembaga negara.
- Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Pasal ini dapat merepresi agama minoritas serta represi pada warga terkait kritik pada pihak polisi dan pemerintah.
- Pasal 29 tentang ancaman kekerasan. Pasal ini bermasalah lantaran dapat dipakai untuk memidana orang yang ingin lapor ke polisi.
- Pasal 36 tentang kerugian. Pasal ini dapat digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
- Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan sebagai alasan internet shutdown untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan hoax.
- Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses. Pasal ini bermasalah karena dapat menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
- Pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.
Meskipun sudah "memakan" puluhan korban, seakan "pasal karet" dalam UU ITE masih belum penting untuk dibahas apalagi direvisi di Senayan. Kini momentun untuk merevisi bahkan menghapus pasal karet dalam UU ITE datang kembali, semoga dapat direalisasikan demi memenuhi asas keadilan dan kebebasan berpendapat dalam masyarakat...
0 komentar:
Posting Komentar