Secara umum, kebebasan pers di Asia Tenggara buruk. Indeks kebebasan pers di Indonesia yang merupakan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia tidak terlalu menggembirakan pula. Indeks kebebasan pers yang dirilis Reporters Without Borders (RSF) menempatkan kawasan Asia Tenggara dalam posisi papan tengah secara global. Kecuali Timor Leste yang berada di peringkat 90, semua negara anggota ASEAN berada di peringkat 100 ke atas dari 179 negara yang disurvei. Brunei berada di posisi puncak dalam indeks kebebasan pers dengan bertengger di posisi 122, disusul Thailand (135), Indonesia (139), Kamboja (143), Malaysia (145), Filipina (147), Singapura (149), Myanmar (151), Laos (168) dan Vietnam (172). Fakta ini, membuat saya untuk beragumentasi menempatkan kawasan ASEAN minus Timor Leste sebagai “neraka” kedua di dunia bagi kebebasan pers.
UU ITE pasal 27 ayat 3 ditentang keras keberadaannya oleh blogger Indonesia | Kris Mendrofa @ Pesta Blogger, photo koleksi pribadi |
Sebagai satu kesatuan, ASEAN menjadi rumah bagi negara yang paling berbahaya kedua bagi jurnalis bahkan blogger di dunia setelah China. Vietnam dan Filipina masing-masing berada di posisi kedua dan ketiga yang berbahaya bagi jurnalis. Bahkan ketika artikel ini saya tulis, Reporters Without Borders (RSF) di websitenya yang beralamat www.rsf.org sedang mengumumkan sebuah petisi untuk kampanye pembebasan 35 orang blogger yang mengkritik kebijakan pemerintahan di negara Vietnam. “Vietnam is the world’s second biggest prison for bloggers and cyber-dissidents, after China”, sumber rsf.org. Seperti Vietnam, Malaysia juga pernah memenjarakan blogger, Indonesia juga nyaris memenjarakan Prita Mulyasari yang menulis buruknya pelayanan salah satu rumah sakit swasta di blognya.
Filipina yang selama ini mendapat predikat sebagai salah satu negara demokratis di Asia ternyata dalam praktek kebebasan berekspresi khususnya dalam kebebasan pers menjelma menjadi momok bagi jurnalis. Ada semacam tren di Filipina, dimana setiap kali pemilu akan digelar maka ancaman bagi keselamatan jurnalis juga meningkat. Setidaknya sudah 73 orang jurnalis yang tewas di Filipina sejak tahun 1992, dalam hal ancaman keselamatan jiwa bagi jurnalis, Filipina disebut-sebut sebagai “juru kunci” ketiga di dunia setelah Irak dan Somalia yang memang sedang bergejolak.
Sangat disayangkan, Filipina yang diharapkan menjadi salah satu rumah bagi kebebasan pers, mengingat angka melek huruf Filipina dalam level Asia termasuk menggembirakan ditambah dengan mapannya dunia perpolitikan disana ditandai dengan demokrasi yang bertumbuh positif, justru mempunyai kebebasan pers yang buruk. Menjadi pekerjaan rumah bersama bagi ASEAN untuk memperbaiki rapor merah ini. ASEAN secara umum dan Filipina secara khusus harus serius memerangi ancaman pembunuhan bagi jurnalis. Sistem perlindungan terhadap saksi juga harus ditingkatkan, sehingga tuntutan bagi pelaku pembunuhan jurnalis dapat dimaksimalkan.
Salah satu isu yang membuat Timor Leste hingga kini belum menjadi anggota penuh ASEAN adalah karena negara yang bersangkutan masih dijegal status keanggotannya oleh salah satu negara anggota ASEAN, semoga ASEAN tidak menjegal Timor Leste hanya karena mereka mempunyai kebebasan pers yang lebih baik. Kemakmuran suatu negara memang tidak selamanya berbanding lurus dengan kebebasan pers, contohnya Singapura dan China, mereka makmur tetapi kebebasan warganya “dipasung”, sementara Timor Leste, miskin tetapi tidak seenaknya memenjarakan warganya yang kritis.Timor Leste yang hingga kini masih berstatus pengamat di ASEAN seakan menampar wajah ASEAN bahwa walau mereka mempunyai kekurangan dalam hal kemakmuran, akan tetapi mereka bukan merupakan neraka bagi kebebasan berekspresi, bukan neraka bagi pers bahkan blogger. Ada baiknya, dalam hal kebebasan pers, ASEAN perlu belajar dari saudara mudanya Timor Leste yang terbukti menjadi kampiun di Asia Tenggara...
0 komentar:
Posting Komentar