Bagi perantau asal pantai barat Sumatera (kepulauan Nias, Sibolga/Tapanuli, Padang) yang akan menuju ke pulau Jawa seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan ke belahan Indonesia Timur di era tahun 90-an, tahun 2000 sampai tahun 2005 menggunakan jasa angkutan laut PELNI / Pelayaran Nasional Indonesia merupakan pilihan utama dibanding menggunakan transportasi darat yang tidak nyaman ataupun menggunakan transportasi udara yang masih mahal ketika itu. Saya juga yakin, penduduk di bagian Indonesia Timur dulunya memanfaatkan transportasi laut.
Namun seiring dengan murahnya tiket pesawat, maka otomatis calon penumpang lebih memilih mode angkutan udara. Menggunakan jasa angkutan laut sepertinya tinggal kenangan saja. Memang untuk jarak dekat yang rata-rata dilayani kapal feri ataupun kapal cepat lainnya warga masih membutuhkannya. Pelayaran di selat Sunda misalnya masih ramai, begitu juga di ujung Sumatera antara Sibolga (daratan Sumatera) dengan kepulauan Nias masih ramai yang rata-rata dilayani kapal feri. Membayangkan kapal PELNI 10 tahun yang lalu dengan yang sekarang ternyata sangat kontras, bukan kemajuan yang ada tetapi kemunduran bagi perusahaan plat merah ini.
Saya sengaja menulis judul artikel ini dengan kapal “pesiar”, sesuatu ungkapan yang hiperbola mungkin, tetapi adakalanya memang benar seperti kapal pesiar saja. Bayangkan, misalnya seperti yang saya alami ketika dulu di era tahun 2000-an. Walaupun jarak tempuh dari kepulauan Nias menuju Jakarta kurang lebih 3 hari 2 malam, namun saya enjoy saja. Di kapal ada bar, ada cafe, ada bioskop, ada toko, ada klinik, ada telepon satelit, ada game center (tidak semua kapal), itu semua fasilitas standar yang ditawarkan.
Terlepas dari semua fasilitas di atas, kalau yang saya senangi adalah view sepanjang hari kalau kita berada di dek (bagian luar kapal). Sambil ngopi di kantin, kita bisa kongkow-kongkow (bahkan ada sebagian yang dapat jodoh disini loh…) dengan teman lama ataupun teman baru sambil menikmati birunya samudera Hindia yang diselingi dengan gugusan pulau-pulau kecil yang elok dipandang dari kejauhan, terkadang kita berpas-pasan dengan kapal nelayan ataupun kapal lainnya. Kita bisa menyaksikan proses terbitnya matahari lalu terbenam di sore harinya. Kalau lagi beruntung, di pagi ataupun sore hari kita bisa melihat atraksi ratusan bahkan mungkin ribuan lumba-lumba. Lumba-lumba ini akan meloncat, “menari” di sisi kiri kanan kapal, suatu atraksi gratis namun jarang bisa disaksikan kecuali di akuarium. Di malam harinya tidak kalah seru nan romantis, di kejauhan kita menyaksikan lampu-lampu kapal ataupun mercusuar lalu diselingi dengan pemandangan bintang-bintang di langit. Kalau saja angin tidak terlalu kencang yang beresiko untuk kesehatan misalnya mabuk laut kita bisa saja di dek sampai pagi.
Saya sendiri termasuk pelanggan tetap pengguna jasa kapal PELNI sejak tahun 2001 sampai tahun 2005, setiap libur semester saya pasti pulang ke Nias. Nah, bulan Desember tahun 2010 lalu saya putuskan untuk naik kapal laut lagi. Ternyata saya sangat rindu menikmati suasana hiruk-pikuk di kapal, saya bahkan sengaja tidak memesan tiket pesawat yang biasanya saya pesan beberapa bulan sebelum keberangkatan, saya mau “berpesiar” lagi!
Tapi ibarat pepatah, lain dulu lain sekarang. Walaupun view gratis tetap menawarkan pesonanya, tidak dengan fasilitas dan kenyamanan yang ditawarkan kapal PELNI. Ibarat naik kereta api, kapal PELNI sekarang sudah menjelma dari kereta api eksekutif ke kereta api ekonomi yang melayani JABODETABEK……. Tau donk seperti apa kualitas kereta api ekonomi di negeri ini? kacau balau tentunya.
Ketidaknyamanan yang terjadi sudah dimulai ketika memasuki kapal, semua ranjang ternyata rata-rata kotor. Semua ranjang tidak dilengkapi dengan kasur. Padahal kasur ini bisa dibilang fasilitas paling dasar untuk tiap penumpang, disinilah penumpang akan tidur dan menghabiskan hari-harinya selama di perjalanan. Namun keanehan dan aroma bisnis sudah mulai terasa beberapa jam setelah kapal berangkat, ternyata kasur-kasur yang raib di tiap ranjang tadi sudah digudangkan, penumpang yang mau mendapatkan kasur dipersilahkan membayar Rp. 5.000 tiap kasur. Bayangkan, kalau ada 1000 seat (ranjang), Rp. 5.000.000 dalam sekejap sudah mereka (kru) kapal sudah kantongi. Yang paling parah lagi makanan penumpang, lauk-pauknya tidak memadai dan mungkin seperti jatah penghuni penjara saja, pernah yang diberi hanya nasi putih saja tanpa sayur ataupun ikan. Di saat bersamaan, kru kapal berjualan di sekitar tempat pengembilan makanan. Saya menduga, jangan-jangan jatah penumpang kapal justru “disunat” lalu dijual di lapak kru tadi. Parah!
Setiap pagi atau sore hari, kru kapal (ABK / Anak Buah Kapal) lalu-lalang menawarkan barang dagangannya, layaknya di kereta ekonomi saja. Lorong-lorong di kamar penumpang tidak pernah disapu dan dipel, apalagi dek di luar kapal, pemandangannya semakin “mengerikan” saja ketika sampah-sampah ada dimana-mana, padahal lorong-lorong ini dulu selalu bersih yang dilengkapi dengan karpet. Dulunya dek luar kapal yang terbuat dari kayu sangat bersi, bahkan penumpang bisa tiduran disini. Satu kata yang keluar dari mulut saya: jorok.
Ah, ternyata saya harus kapok, trauma menggunakan jasa kapal “pesiar” yang saya senangi dulu. Kecuali kalau terpaksa, saya tidak akan menumpang lagi….. kapok!
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar